Hidup Harmonis dengan Komodo

Read story in

“Ndadi manga waing di sa ro losa anaq rua. Pusi sa kenobo ndadi ora, sa kenobo ndadi manusia.”

“Pada suatu hari yang bersejarah, dua anak lahir. Satu, seekor Ora (Komodo), dan yang lainnya, seorang manusia.”

– J. A. J. Verheijen

Hidup berdampingan antara manusia dan satwa liar membutuhkan kesadaran akan pentingnya berbagi ruang dengan satwa liar. Mencapai koeksistensi yang langgeng dan berkelanjutan dapat menjadi tantangan, terutama ketika berhadapan dengan predator yang tangguh yang dapat menimbulkan risiko bagi keselamatan manusia. Namun, pengecualian yang luar biasa dapat ditemukan di Desa Komodo, yang terletak di dalam Taman Nasional Komodo. Di desa ini, masyarakat hidup harmonis dengan komodo (Varanus komodoensis) – kadal terbesar di dunia yang hanya dapat ditemukan di Indonesia.

Komodo adalah hewan raksasa yang luar biasa, dengan panjang mencapai tiga meter dan berat mencapai 100 kilogram. Sebagai predator puncak, komodo mampu memburu spesies mangsa besar seperti rusa, babi hutan, kuda, dan bahkan kerbau, menggunakan taktik menunggu dan menyergap secara diam-diam. Gigitannya berbisa dan mengandung bakteri yang berbahaya, menyebabkan kematian yang lambat dan menyakitkan bagi mangsanya. Komodo dilindungi dengan baik di Taman Nasional Komodo, di mana menurut penilaian IUCN Red List 2019, Taman Nasional Komodo menjadi rumah bagi sekitar 70 persen populasi komodo di dunia. Sifatnya yang soliter dan kanibal, ditambah dengan indra penciuman yang luar biasa dan kemampuan betina untuk melahirkan tanpa kawin, terus memikat imajinasi di seluruh dunia.

Selama berabad-abad penduduk desa Komodo, yang secara lokal dikenal sebagai Ata Modo, telah berbagi kehidupan dengan komodo. Menurut survei yang dilakukan taman nasional pada tahun 2022, sekitar 50 persen populasi Komodo ada di taman nasional, atau setara dengan 1.561 ekor, terkonsentrasi di Pulau Komodo, tempat tinggal Ata Modo. Perjumpaan dengan komodo adalah hal yang biasa terjadi, ketika penduduk desa menjelajah ke hutan atau komodo berkeliaran di sekitar desa. Meskipun pertemuan semacam itu biasanya berlangsung aman, ada beberapa kasus interaksi negatif antara Ata Modo dan Komodo. Taman nasional telah mencatat lima kasus serangan Komodo terhadap penduduk desa sejak tahun 2000, yang mengakibatkan luka parah atau bahkan kematian. Selain itu, komodo juga dilaporkan memangsa ternak warga, terutama kambing dan ayam.

Meskipun interaksi antara manusia dan komodo di Desa Komodo tidak selalu berjalan damai, mereka menunjukkan koeksistensi luar biasa yang telah berlangsung lama. Contohnya adalah jarang terjadi pembalasan atau penghukuman terhadap komodo ketika mereka menyerang manusia atau ternak. Hubungan harmonis ini merupakan hasil dari beberapa faktor yang saling terkait, termasuk kepercayaan dan budaya setempat, manfaat ekonomi yang diperoleh dari pariwisata, dan kepatuhan terhadap peraturan konservasi.

Hubungan Sejarah

Desa Komodo berdiri sebagai komunitas khas yang menghargai dan melestarikan sejarah dan tradisinya yang kaya. Salah satu kepercayaan yang paling mendalam yang dipegang oleh Ata Modo adalah anggapan bahwa komodo adalah saudara kandung mereka sendiri, lahir dari ibu yang sama. Kepercayaan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita lisan, yang terangkum dalam ‘Cerita Sebae’, sebagai berikut: 

Dahulu kala, pasangan muda bernama Hami dan Epa bersukacita atas kelahiran anak kembar. Anak laki-laki diberi nama Ndasa, sementara saudara perempuannya, Ora, memiliki kemiripan dengan biawak betina. Mereka tinggal bersama di desa, sampai suatu ketika nafsu makan Ora terhadap tikus dan tokek membuat keluarga mereka malu dan Epa membawanya ke hutan. Setelah bertahun-tahun berlalu, Ndasa tumbuh menjadi nelayan yang terampil, menikah, dan memulai sebuah keluarga sendiri. Sementara itu, Ora tumbuh besar di hutan, mengasah keterampilan berburu rusa, dan membesarkan anak yang ia lahirkan sendiri. 

Pada suatu hari, Ndasa pergi ke hutan mencari obat untuk anaknya dan tersesat. Dia merasakan ada sesuatu yang mengamatinya dan tiba-tiba melihat kadal besar menjulang di belakangnya, hal tersebut membuat Ndasa dan Ora sama-sama bersiap untuk saling menyerang. Beruntung, ibu mereka yaitu Epa segera muncul. Wanita tua itu berkata, “Jangan saling menyakiti karena kalian adalah saudara kembar. Aku telah merawat Ora di hutan ini, sehingga ia tidak mengganggu atau diganggu oleh manusia.” Ndasa yang memahami kondisi tersebut kemudian kembali ke desa bersama ibunya, ia bersumpah dan meminta orang lain di desa untuk tidak mengganggu Ora karena dia adalah saudara perempuan mereka atau Sebae.

Pariwisata komodo

Dinamika hubungan masyarakat dengan Komodo telah berkembang karena manfaat ekonomi dari pariwisata. Sejak didirikan pada tahun 1980, Taman Nasional Komodo telah menjadi tujuan wisata global, dari kurang dari seribu wisatawan yang berkunjung pada tahun 1982 menjadi 300. 488 pengunjung pada tahun 2023, dengan sebagian besar datang untuk melihat komodo dan lanskap alam yang menakjubkan.

Desa Komodo yang terletak di dekat pusat wisata juga merupakan tujuan wisata budaya. Akibatnya, mata pencaharian tradisional Ata Modo telah mengalami transformasi besar, beralih dari pertanian dan perikanan ke kegiatan yang berpusat pada pariwisata. Saat ini, mereka terlibat dalam kegiatan pariwisata seperti membuat dan menjual cinderamata lokal, menjadi pemandu wisata, dan menawarkan layanan homestay.

Masyarakat Ata Modo menyadari nilai ekonomi yang ada pada Komodo dan mereka sangat bangga dikenal sebagai masyarakat yang hidup harmonis dengan kadal yang luar biasa ini.

Kepatuhan terhadap konservasi

Koeksistensi masyarakat Ata Modo dengan Komodo juga dibangun atas dasar pemahaman mereka yang mendalam akan pentingnya melindungi spesies ini dan kepatuhan mereka terhadap peraturan konservasi. Komodo yang secara resmi dilindungi sejak masa penjajahan Belanda dan kini sepenuhnya dilindungi oleh hukum Indonesia merupakan alasan utama pendirian Taman Nasional Komodo pada tahun 1980 yang berdampak pada masyarakat lokal di dalam kawasan. Sejak saat itu, masyarakat setempat hidup di bawah peraturan yang dirancang untuk melestarikan tidak hanya komodo, tetapi juga satwa liar dan ekosistem yang lebih luas.

Untuk memastikan kepatuhan, taman nasional ini mengadakan program peningkatan kesadaran dan kapasitas terkait pariwisata secara rutin, seperti pembuatan kerajinan tangan dan pemanduan. Patroli rutin dilakukan untuk

mencegah kegiatan seperti perburuan dan penebangan liar di dalam taman nasional. Peraturan-peraturan ini terkadang menimbulkan ketidakpuasan masyarakat setempat karena mereka merasa terpinggirkan dan dibatasi dalam kegiatan seperti memancing atau mengambil kayu. Meskipun terkadang terjadi ketegangan, perlu dicatat bahwa Ata Modo tidak pernah menyalahkan komodo atas situasi mereka, sebagaimana dibuktikan dengan tidak adanya laporan tentang pembalasan terhadap satwa ini selama 15 tahun terakhir.

Pembelajaran dari Desa Komodo

Meskipun sebagian besar masyarakat Ata Modo secara alami takut terhadap komodo karena ukuran dan sifat predatornya, namun telah terjadi pergeseran dalam interaksi antara manusia dan komodo yaitu semakin banyak orang yang mengamati komodo dari dekat. Pergeseran ini dipengaruhi oleh pertumbuhan pariwisata yang menarik perhatian pengunjung untuk mengamati komodo dari dekat, ditambah dengan meningkatnya pemahaman tentang perilaku mereka.

Sebagai contoh, komodo yang sering bertemu dengan manusia menjadi terbiasa dan dapat diamati dari dekat, tidak seperti komodo liar yang biasanya melarikan diri atau menghindari manusia. Namun, diperlukan kehati-hatian dan tetap menjaga jarak karena mereka adalah hewan liar dan dapat menunjukkan sifat agresif ketika merasa terganggu atau terancam. Oleh karena itu, penting untuk menjaga jarak aman dalam berinteraksi dengan komodo. 

Hidup berdampingan dalam jangka panjang antara manusia dan satwa liar adalah hasil dari berbagai faktor yang kompleks. Latar belakang sejarah yang sama telah membentuk ikatan yang mendalam dan abadi antara Ata Modo dan komodo di Desa Komodo. Selain itu, pariwisata telah membawa manfaat ekonomi bagi mata pencaharian masyarakat setempat. Didukung juga oleh komitmen masyarakat untuk mematuhi peraturan konservasi dengan memastikan interaksi positif tidak hanya dengan komodo, tetapi juga dengan keanekaragaman hayati dan lingkungan alam yang lebih luas di dalam taman nasional.

Meskipun istilah “koeksistensi” mungkin tidak terlalu familier di telinga masyarakat Ata Modo, cara hidup mereka telah menggambarkan apa yang dimaksud dengan hidup berdampingan secara harmonis dengan satwa liar. Dengan mengamati interaksi mereka dengan komodo, kita dapat belajar pelajaran berharga tentang kemampuan kita untuk hidup berdampingan dengan spesies lain di masa kini dan masa depan.

Ucapan terima kasih

Kami berterima kasih kepada Puspita Insan Kamil dan Achmad Ariefiandy atas tinjauan awal dan umpan balik konstruktif yang diberikan, serta Charles Josefson yang telah menyunting naskah ini.

Referensi Lebih Lanjut

Verheijen, J.A.J. 1987. Pulau Komodo: Tanah, Rakyat,dan Bahasanya. Jakarta: Balai Pustaka.

Sunkar, A., D. K. Mirza and S.R. Fitria. 2020. Role of culture in the emotional response towards Komodo dragons in Komodo and Rinca islands of Komodo National Park. BIO Web of Conferences 19: 00021. DOI:10.1051/bioconf/20201900021.

Jessop, T., A. Ariefiandy, M. Azmi, C. Ciofi, J. Imansyah and D. Purwandana. 2021. Varanus komodoensis. The IUCN Red List of Threatened Species 2021: e. T22884A123633058. www.iucnredlist.org/ species/22884/123633058.

Kontributor

Maria Rosdalima Panggur telah bekerja sebagai ranger di Taman Nasional Komodo selama sembilan tahun, berfokus pada konservasi Komodo dan habitatnya. Saat ini sedang mengikuti program The Conservation Science programme di University of Queensland.

Ayu Wijayanti adalah seorang antropolog yang fokus pada pemberdayaan dan konservasi. Dia pernah bekerja di Komodo Survival Program selama empat tahun. Saat ini ia sedang melanjutkan studi magister antropologi di Universitas Gadjah Mada. 

Ardiantiono telah mempelajari interaksi manusia-satwa liar selama satu decade. Saat ini dia sedang mengejar gelar doktor di The Durrell Institute of Conservation and Ecology, University of Kent.

Labonie Roy adalah seniman independen yang memiliki spesialisasi dalam nature communication melalui ilustrasi, desain, dan cerita. Ia menyukai serangga, kopi, dan memimpikan buku anak-anak.

This article is from issue

17.4

2023 Dec